Seperti Senja yang Memudar, Luka dan Rindu kupun begitu. Aku tak bisa Melangkah pergi semudah kau melakukannya
Halo lelakiku. Apa kabar di sana? Lama tak saling menyapa sepertinya.
Sebenarnya aku tak ingin mengemis rindu pada mu. Namun sepertinya rindu itu terlalu banyak dan berhamburan tak bertuan selain pada mu. Aku tau sepertinya kau tengah sibuk dengan urusan mu bukan? Ahh.. kau memang selalu sibuk sayang.
Apakabar mata yang selalu menatap khawatir padaku itu? Apakabar tangan yang tak pernah melepaskan genggaman tangan ku dikeramaian itu? Apa kabar dada bidang yang selalu ku rengkuh saat aku lelah dengan dunia ku? Ah sungguh menyebalkan merindukanmu.
Sore ini aku ingin bercerita banyak pada mu, perihal apa-apa saja yang telah ku lalui hari ini. Namun sepertinya dirimu tak punya banyak waktu bukan? Ah ya… Biarkan saja. Aku bisa berjalan sendiri seperti biasanya. Memang terkadang aku merindukan bayang mu seperti dahulu, sosok yang selalu ada untuk ku. Aku sepertinya tak cukup pandai mengartikan kau sangat menyayangi ku. Dengan bodohnya aku selalu acuh tak acuh terhadap mu. Namun kini, saat jarak diantara kita semakin melebar aku merasa tak punya apa-apa selain padamu aku ingin bermanja.
Aku merindu tertawa bahagia tentang tingkah konyol mu yang membuat ku terpingkal. Dan satu lagi, aku merindu tentang semua yang kau punya. Tentang mata sendu yang menatap ku nanar saat aku melakukan sesuatu yang tak kau suka, namun tetap.. kau selalu ada disini menggenggam tangan ku menuju benar. Tentang senyum anggun yang tak pernah lepas dari bibir mu ketika menyapa ramah semua orang, ah ya.. aku kadang tak suka melihat mu membagi senyum itu untuk gadis lain tapi toh itu bukan salah mu bukan? Dan sepertinya semua orang harus tau, aku pernah memiliki lelaki dengan senyum terbaik disini.
Tapi selayaknya gadis lain, aku selalu merasa tak adil dengan waktu dan jarak yang selalu kau ikhlaskan ditengah sibuk mu. Aku selalu ingin waktu lebih mu. Terkadang aku ingin berpayung berdua bersama mu ditengah hujan yang turun menangisi bumi. Terkadang aku juga ingin memberikan lengan mungilku padamu untuk digenggam manis seperti gadis lain saat ia bingung menentukan arah di keramaian, atau sekedar mengistirahatkan kepala ku dipundak mu. Sesederhana itu.
Begitu banyak aku mencintai yang ada pada dirimu, barang kali.
Aku mencintaimu sebanyak itu.
Seperti halnya senja yang memudar, luka dan rindu ku pun begitu. Dirimu pasti paham betapa menyebalkannya merindu begitu dalam bukan? Terlebih saat semua bayang mu bagai lenyap tak berbekas di ujung jarak yang tak pernah bersahabat dengan rindu kita. Tetap saja rindu kita tak tersampaikan hanya karena beralaskan jarak yang tak mungkin aku atau dirimu kejar tanpa andil Sang Pencipta.
Disana kamu dengan sibukmu, disini aku dengan rinduku. Tak cukup adil memang. Tapi aku paham impian mu bukan melulu tentang aku dan rinduku.
Aku yang pernah dengan kuat mempertahankan ini, lalu kau abaikan, kini aku sesali. Aku yang dulunya berjuang mencari kabar bahkan keberadaanmu saat itu yang telah menghilang menjauh tanpa jejak, saat ini aku sadari kesia-siaanku.
Aku yang sempat berharap kamulah satu-satunya pilihan terakhir, kini ku akui itu hanyalah ilusi. Aku yang sempat meminta dengan nada lirih sedikit memohon agar kau kembali. Rasanya terlihat mengemis. Rasanya itu tak perlu ku lakukan. Rasanya itu semua tak harus ku perjuangkan dari dulu. Untuk apa? Hanya untuk membuang waktu terbaikku.
Seharusnya aku bisa tersadarkan sejak dulu. Seharusnya, seharusnya dan seharusnya. Tapi tak apa.
Seakan tanpa alasan. Bahkan seakan aku tak tahu bagaimana caranya menghentikan aliran ini, aliran air mata, aliran rasa, bahkan aliran darah yang sempat berhenti sejak kau tinggalkan. Ah ini berlebihan. Lupakan. Tapi? Tak semudah itu, aku masih kembali mengulang tangis itu. Masih mengingat itu dan semua itu tak mudah. Aku meminta waktu cepat berlalu, agar bisa dengan mudah melupakanmu.
Tapi sepertinya waktu masih ingin terus melihatku lebih kuat. Satu.. Dua.. Langkah maju.. Aku kembali menunduk. Rasanya ada yang hilang. Ku tatap kembali depan, mencoba melangkah. Tahap demi tahap langkah ku ayunkan kaki dengan harapan penuh namun ada yang luruh rasanya. Berat rasanya, seolah bayangan tertinggal di belakang namun keinginan berusaha menjauh. Harapan dulu itu memang akan ku kubur dan seharusnya aku buang. Namun jika kau tahu, itu tak semudah kau melangkah pergi, tak semudah kau memutuskan untuk menyakiti. Jika saja dirimu memiliki hati, air mata yang pernah kau lihat, air mata yang pernah terjatuh karenamu membuatmu merasakan hal yang sama. Tak apa, aku memahami perasanmu.
Memang benar betapa egoisnya jika aku masih saja tetap memaksa dirimu mencintaiku, urusanku hanya menjadi yang terbaik. Untuk terakhir kalinya aku memang harus menegaskan pada hatiku sendiri, bahwa
Sebenarnya aku tak ingin mengemis rindu pada mu. Namun sepertinya rindu itu terlalu banyak dan berhamburan tak bertuan selain pada mu. Aku tau sepertinya kau tengah sibuk dengan urusan mu bukan? Ahh.. kau memang selalu sibuk sayang.
Apakabar mata yang selalu menatap khawatir padaku itu? Apakabar tangan yang tak pernah melepaskan genggaman tangan ku dikeramaian itu? Apa kabar dada bidang yang selalu ku rengkuh saat aku lelah dengan dunia ku? Ah sungguh menyebalkan merindukanmu.
Sore ini aku ingin bercerita banyak pada mu, perihal apa-apa saja yang telah ku lalui hari ini. Namun sepertinya dirimu tak punya banyak waktu bukan? Ah ya… Biarkan saja. Aku bisa berjalan sendiri seperti biasanya. Memang terkadang aku merindukan bayang mu seperti dahulu, sosok yang selalu ada untuk ku. Aku sepertinya tak cukup pandai mengartikan kau sangat menyayangi ku. Dengan bodohnya aku selalu acuh tak acuh terhadap mu. Namun kini, saat jarak diantara kita semakin melebar aku merasa tak punya apa-apa selain padamu aku ingin bermanja.
Aku merindu tertawa bahagia tentang tingkah konyol mu yang membuat ku terpingkal. Dan satu lagi, aku merindu tentang semua yang kau punya. Tentang mata sendu yang menatap ku nanar saat aku melakukan sesuatu yang tak kau suka, namun tetap.. kau selalu ada disini menggenggam tangan ku menuju benar. Tentang senyum anggun yang tak pernah lepas dari bibir mu ketika menyapa ramah semua orang, ah ya.. aku kadang tak suka melihat mu membagi senyum itu untuk gadis lain tapi toh itu bukan salah mu bukan? Dan sepertinya semua orang harus tau, aku pernah memiliki lelaki dengan senyum terbaik disini.
Tapi selayaknya gadis lain, aku selalu merasa tak adil dengan waktu dan jarak yang selalu kau ikhlaskan ditengah sibuk mu. Aku selalu ingin waktu lebih mu. Terkadang aku ingin berpayung berdua bersama mu ditengah hujan yang turun menangisi bumi. Terkadang aku juga ingin memberikan lengan mungilku padamu untuk digenggam manis seperti gadis lain saat ia bingung menentukan arah di keramaian, atau sekedar mengistirahatkan kepala ku dipundak mu. Sesederhana itu.
Begitu banyak aku mencintai yang ada pada dirimu, barang kali.
Aku mencintaimu sebanyak itu.
Seperti halnya senja yang memudar, luka dan rindu ku pun begitu. Dirimu pasti paham betapa menyebalkannya merindu begitu dalam bukan? Terlebih saat semua bayang mu bagai lenyap tak berbekas di ujung jarak yang tak pernah bersahabat dengan rindu kita. Tetap saja rindu kita tak tersampaikan hanya karena beralaskan jarak yang tak mungkin aku atau dirimu kejar tanpa andil Sang Pencipta.
Disana kamu dengan sibukmu, disini aku dengan rinduku. Tak cukup adil memang. Tapi aku paham impian mu bukan melulu tentang aku dan rinduku.
Aku yang pernah dengan kuat mempertahankan ini, lalu kau abaikan, kini aku sesali. Aku yang dulunya berjuang mencari kabar bahkan keberadaanmu saat itu yang telah menghilang menjauh tanpa jejak, saat ini aku sadari kesia-siaanku.
Aku yang sempat berharap kamulah satu-satunya pilihan terakhir, kini ku akui itu hanyalah ilusi. Aku yang sempat meminta dengan nada lirih sedikit memohon agar kau kembali. Rasanya terlihat mengemis. Rasanya itu tak perlu ku lakukan. Rasanya itu semua tak harus ku perjuangkan dari dulu. Untuk apa? Hanya untuk membuang waktu terbaikku.
Seharusnya aku bisa tersadarkan sejak dulu. Seharusnya, seharusnya dan seharusnya. Tapi tak apa.
Terimakasih, ku ucapkan dengan tegas. Dengan caramu dulu, kini aku bahagia.Meskipun terkadang sakit rasanya dada ini, di saat kau tak pernah menoleh ke arahku.Cinta yang kutahu tak perlu sesakit ini, tak perlu sehumor ini, tak perlu serumit ini, bahkan tak perlu berharap seperti ini.
Seakan tanpa alasan. Bahkan seakan aku tak tahu bagaimana caranya menghentikan aliran ini, aliran air mata, aliran rasa, bahkan aliran darah yang sempat berhenti sejak kau tinggalkan. Ah ini berlebihan. Lupakan. Tapi? Tak semudah itu, aku masih kembali mengulang tangis itu. Masih mengingat itu dan semua itu tak mudah. Aku meminta waktu cepat berlalu, agar bisa dengan mudah melupakanmu.
Tapi sepertinya waktu masih ingin terus melihatku lebih kuat. Satu.. Dua.. Langkah maju.. Aku kembali menunduk. Rasanya ada yang hilang. Ku tatap kembali depan, mencoba melangkah. Tahap demi tahap langkah ku ayunkan kaki dengan harapan penuh namun ada yang luruh rasanya. Berat rasanya, seolah bayangan tertinggal di belakang namun keinginan berusaha menjauh. Harapan dulu itu memang akan ku kubur dan seharusnya aku buang. Namun jika kau tahu, itu tak semudah kau melangkah pergi, tak semudah kau memutuskan untuk menyakiti. Jika saja dirimu memiliki hati, air mata yang pernah kau lihat, air mata yang pernah terjatuh karenamu membuatmu merasakan hal yang sama. Tak apa, aku memahami perasanmu.
Memang benar betapa egoisnya jika aku masih saja tetap memaksa dirimu mencintaiku, urusanku hanya menjadi yang terbaik. Untuk terakhir kalinya aku memang harus menegaskan pada hatiku sendiri, bahwa
meninggal kan itu tak sepenuhnya buruk.
Terima kasih pernah menjadi lelakiku yang tak pernah mengeluh dengan jarak dan rindu itu seperti halnya aku. Terimakasih pernah hadir walau sebentar.
1 comments
Awalnya bahagia, namun di akhir cerita ternyata sedih. Btw tulisan yang bagus. Semangat berkarya! :)
ReplyDelete