FF My Possesive CEO part 2 re-make
Anyeonghaseo hai haiii ketemu lagi sama didiw hehe (gada yang kangen yaa pfft) yasudah aku cuma mau post kelanjutan ff my possesive ceo yang aku re-make dari kaka silver_ semoga kalian sukaaa yukk langsung aja :
Cast : Siwon agnes and other cast
PART 2
Aku terbangun dari tidur ketika sinar matahari masuk
dari jendela mengenai wajahku. Aku lupa menutup tirai jendela sore kamarin
karna setelah sampai dihotel, aku langsung jatuh tertidur. Tidak menggosok
gigi, cuci muka, ganti pakaian dan tidak mandi. Aku melihat jam tangan yang
melingkar dipergelangan tangan kiriku, pukul
tujuh pagi lewat lima menit. Mata ku melotot saat
menyadari aku tertidur tiga belas jam dan lupa mengabar Minho. Aku mengambil
Samsungku didalam tas selempang yang kutaruh disampingku lalu menghidupkannya. 6panggilan
dari Minho. 10panggilan dari ayah, 4panggilan dari ibu. 3sms dari ayah dan 5sms
dari Minho. Aku memencet angka satu yang langsung tersambung kehandphone Minho.
Bunyi ketiga sambungan terangkat.
"Kau masih hidup, kak?" suaranya terdengar
khawatir.
"Kau menginginkan aku mati?" kata ku lirih
dibuat-buat.
"Tapi itu tidak terjadi."
"Dasar nakal," candaku. Ia terkekeh diujung
sana.
"Ayah dan Ibu mengkhawatirkan mu karna handphone
mu tidak bisa dihubungi. Aku tidak bisa tidur semalam karna memikirkan mu. Kau harus
ganti rugi."
"Setelah sarapan aku akan menghubungi mereka. Aku
akan membelikanmu hadiah. Ngomong-ngomong apa kau mengatakan sesuatu pada ayah
dan ibu?" aku beranjak dari atas tempat tidur kejendela kamar lalu membukanya.
Angin dan sinar matahari
langsung menerpa wajahku. "Aku tidak sabar
menunggu itu. Iya, ayah dan ibu bertanya, apa kau sudah pulang dari kantor. Aku
menjawab, kau sedang dinas keluar kota. Aku berbohong, kau harus double membelikanku hadiah,"
ia tertawa setelah aku mengatainya, cowok matre.
"Kau berlibur kemana?" suaranya terdengar penasaran.
"Kau berlibur kemana?" suaranya terdengar penasaran.
"Tebak. Aku sedang melihat sungai Yarra dari
kamar penginapanku."
"Kau ke Australia?" suaranya terdengar
antusias. Aku terkekeh.
"Ya. Jangan bawa kaki panjangmu terbang
kesini." aku mengancam.
"Ide itu baru saja muncul dari isi otak kepalaku,"
suaranya memelan. Satu
bulan yang lalu keluargaku berencana berlibur ke sini,
namun harus ditunda karna Minho jatuh dari atas tangga rumah, dan kakinya
terkilir. Aku ingin mengajaknya, tapi ia harus masuk sekolah. Ayah dan ibu
pasti tidak akan mengizinkannya.
"Aku akan mengajakmu lain waktu kesini dan aku
harus menutup telepon ini. Aku harus mandi dan sarapan. Kau tidak boleh bolos
sekolah, berantem, dan jangan keluar malam."
"Apa kau sedang mendikte ku?" aku mengiyakan. Minho menutup sambungan telepon setelah mengatakan, baiklah dan aku tidak perlu khawatir.
"Apa kau sedang mendikte ku?" aku mengiyakan. Minho menutup sambungan telepon setelah mengatakan, baiklah dan aku tidak perlu khawatir.
Minho pria yang baik. Namun terkadang sisi gelapnya ia
tunjukkan pada orang-orang yang menganggu dirinya atau melukai perasaan orang
lain yang iacintai. Malam itu, saat Minho memaki Top, perasaanku tidak enak.
Aku takut Minho melukai orang-orang yang berada disisi Top atau melukai Top.
***
"Iya, ibu. Sampaikan salamku pada ayah. Aku
mencintai kalian. Kalian tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja. Jaga diri
kalian. I love you too." Setelah aku menghabiskan sarapan pagiku, dua roti
panggang dan satu kotak susu putih di taman garden dekat penginapanku. Aku
menghubungi ibu memberikan kabar bahwa aku baik-baik saja. Aku menghela nafas.
Jelas aku berbohong. Aku tidak baik-baik saja.
Rasa sakit masih merayap disekitar hatiku. Aku
mencintainya. Dia meninggalkanku tanpa ada alasan. Aku ingin membencinya, tapi
hatiku malah semakin terluka. Aku pikir, aku dan Top akan menikah, berbulan madu
di Paris, negara paling romantis dan bercinta sepanjang hari, lalu memiliki
anak. Keluarga bahagia seperti ibu dan ayah, harmonis hingga tua. Lalu Aku mendongak saat sebuah tangan kecil menghapus
air mataku yang tanpa sadar mengalir.
"Kata Appa, anak perempuan tidak boleh lemah," katanya, kemudian duduk
"Kata Appa, anak perempuan tidak boleh lemah," katanya, kemudian duduk
disampingku. Aku meringis. Mungkin, Appa nya mendidiknya
dengan cara keras. Aku memandang kesekeliling. Tidak ada orang tua disekitar
ini. Hanya ada anak muda-mudi yang sedang brmesraan. Membuatku ingin menangis lagi.
"Adik kecil tersesat?" dia menggeleng. "Laurent kabur dari
restoran. Appa mementingkan handphonenya dibandingkan Laurent," ia
mengerucutkan bibirnya. "Mommy, Laurent?" "Mommy tinggal
disurga. Apa surga sangat jauh, tante? Tiap kali Laurent meminta berlibur ke
surga, Appa tidak mengabulkannya," anak sekecil ini sudah harus kehilangan
orang yang seharusnya memberinya kasih sayang. Nasib anak ini sama denganku,
hanya berbeda, ia tidak cengeng sedangkan aku menangis terus.
"Sangat jauh. Naik pesawat tidak akan sampai."
"Lalu harus naik apa, tante?"
"Takdir," aku cepat menambahkan, "Mungkin," pertanyaan polosnya membuatku pusing. Bibirnya terbuka ingin berbicara namun tertutup kembali karna suara berat memanggil namanya. Aku membeku. Suara itu semakin mendekat. Aku mengenal suara ini dengan baik.
"Appa, ayo kesini." Matilah aku! Seharusnya setelah selesai sarapan aku pergi dari sini.
"Sangat jauh. Naik pesawat tidak akan sampai."
"Lalu harus naik apa, tante?"
"Takdir," aku cepat menambahkan, "Mungkin," pertanyaan polosnya membuatku pusing. Bibirnya terbuka ingin berbicara namun tertutup kembali karna suara berat memanggil namanya. Aku membeku. Suara itu semakin mendekat. Aku mengenal suara ini dengan baik.
"Appa, ayo kesini." Matilah aku! Seharusnya setelah selesai sarapan aku pergi dari sini.
Seharusnya aku tidak menginap dihotel ini. Lebih
tepatnya, seharusnya aku tidak berliburan kesini. Patah hati membawa bencana. Dia
mendekat. Aku tidak tahu ekpresi wajah apa yang ditunjukkannya karna melihatku
disini. Sebelum aku menundukkan kepalaku, dia menggumamkan nama lengkap ku dan matanya
menyipit. Dia jongkok di depanku,
"Kau mengambil cuti mendadak selama satu minggu beralasan kau sakit parah. Benar?" dia menggeram. Aku mengangguk ketakutan. Aku benar. Aku sakit parah. Hatiku sangat terluka. Aku butuh waktu lama menyembuhkan luka hatiku. Menyembuhkan sakit hati tidak secepat kau menyembuhkan sakit kepala. Sakit kepala hanya butuh seharian penuh tidur dan minum obat, sudah sembuh. Sedangkan sakit hati? Susah mendapatkan obatnya! Aku melirik sekilas tepat dia menatap tubuhku dari atas sampai kebawah berkali-kali secara intens. Aku jadi risih. Jantungku berdegup kencang dan telapak tanganku berkeringat.
"Tubuhmu tidak terluka. Apanya yang sakit parah?" Hatiku! Teriakku didalam hati. Tidak mungkin teriak didepan wajahnya. Apalagi memberitahu sebenarnya. Dia adalah pria mengerikan.
"Maaf, sir. Aku harus kembali kekamar," aku mencoba berdiri namun kedua pahaku dicekal oleh kedua tangannya sehingga aku terduduk kembali. Panas yang ditimbulkan dari tangannya yang menyentuh paha ku memberikan sensasi aneh didalam tubuhku.
"Appa dan tante saling kenal ya?" beberapa detik aku melupakan kehadiran Laurent. Aku ingin menjawab tapi sudah didahului oleh pria yang sudah menaikkan hormonku. Aku merapatkan pahaku. Entah ini kenyataan atau tidak. Aku basah! Sial!
"Tentu saja. Tante Agnes bekerja untuk ayah." suaranya lembut.
"Jadi tante Agnes babysitter baru Laurent ya, yah?" ia tersenyum. Aku ingin protes, lagi dan lagi ia mendahuluiku.
"Aku sudah memberitahu prinsipku pada kesemua pegawaiku. Kau ingat prinsipku kan?"
"Sekali berbohong, akan ada kebohongan selanjutnya," jawabku takut-takut.
"Kau masih ingat rupanya," dia terkekeh, tapi sedetik kemudian menggeram.
"Tapi kenapa kau berbohong padaku?"
"Aku tidak berbohong!" kilahku.
"Kau mengambil cuti mendadak selama satu minggu beralasan kau sakit parah. Benar?" dia menggeram. Aku mengangguk ketakutan. Aku benar. Aku sakit parah. Hatiku sangat terluka. Aku butuh waktu lama menyembuhkan luka hatiku. Menyembuhkan sakit hati tidak secepat kau menyembuhkan sakit kepala. Sakit kepala hanya butuh seharian penuh tidur dan minum obat, sudah sembuh. Sedangkan sakit hati? Susah mendapatkan obatnya! Aku melirik sekilas tepat dia menatap tubuhku dari atas sampai kebawah berkali-kali secara intens. Aku jadi risih. Jantungku berdegup kencang dan telapak tanganku berkeringat.
"Tubuhmu tidak terluka. Apanya yang sakit parah?" Hatiku! Teriakku didalam hati. Tidak mungkin teriak didepan wajahnya. Apalagi memberitahu sebenarnya. Dia adalah pria mengerikan.
"Maaf, sir. Aku harus kembali kekamar," aku mencoba berdiri namun kedua pahaku dicekal oleh kedua tangannya sehingga aku terduduk kembali. Panas yang ditimbulkan dari tangannya yang menyentuh paha ku memberikan sensasi aneh didalam tubuhku.
"Appa dan tante saling kenal ya?" beberapa detik aku melupakan kehadiran Laurent. Aku ingin menjawab tapi sudah didahului oleh pria yang sudah menaikkan hormonku. Aku merapatkan pahaku. Entah ini kenyataan atau tidak. Aku basah! Sial!
"Tentu saja. Tante Agnes bekerja untuk ayah." suaranya lembut.
"Jadi tante Agnes babysitter baru Laurent ya, yah?" ia tersenyum. Aku ingin protes, lagi dan lagi ia mendahuluiku.
"Aku sudah memberitahu prinsipku pada kesemua pegawaiku. Kau ingat prinsipku kan?"
"Sekali berbohong, akan ada kebohongan selanjutnya," jawabku takut-takut.
"Kau masih ingat rupanya," dia terkekeh, tapi sedetik kemudian menggeram.
"Tapi kenapa kau berbohong padaku?"
"Aku tidak berbohong!" kilahku.
"Kau sakit penyakit dalam? Kanker? Jantung?
Ginjal? Usus buntu? Atau kanker payudara?" Aku marah,
"Tolong, sir. Jangan mencampuri urusanku! Ini diluar perusahaan!" aku menepis kedua tangannya diatas pahaku. Tapi kemudian dia meremas bahuku.
"Tentu saja aku berhak tahu! Kau adalah sekretaris ke satu-ku! Apa kau punya penyakit menular seperti, asma, TBC, HIV atau AIDS? Kau tahu konsekoensinya sudah berbohong!"
"Aku tidak punya penyakit menular. Apa kau mau memecatku?" kesopanan sudah hilang tergantikan oleh kemarahanku.
"Apa kau tidak ingin bekerja lagi dengan ku?" Kami diam saling memandang dengan tatapan saling membenci dan siapa yang paling tajam. Aku sudah bekerja untuknya selama tiga tahun sebagai sekretaris ke satu. Ada dua sekretaris bekerja untuknya. Dari dulu dia paling benci dengan orang yang berbohong padanya. Jika ada pegawai seperti itu, maka akan langsung dipecat. Sudah banyak pegawainya dipecat. Dan sekarang aku korbannya?
TBC................
"Tolong, sir. Jangan mencampuri urusanku! Ini diluar perusahaan!" aku menepis kedua tangannya diatas pahaku. Tapi kemudian dia meremas bahuku.
"Tentu saja aku berhak tahu! Kau adalah sekretaris ke satu-ku! Apa kau punya penyakit menular seperti, asma, TBC, HIV atau AIDS? Kau tahu konsekoensinya sudah berbohong!"
"Aku tidak punya penyakit menular. Apa kau mau memecatku?" kesopanan sudah hilang tergantikan oleh kemarahanku.
"Apa kau tidak ingin bekerja lagi dengan ku?" Kami diam saling memandang dengan tatapan saling membenci dan siapa yang paling tajam. Aku sudah bekerja untuknya selama tiga tahun sebagai sekretaris ke satu. Ada dua sekretaris bekerja untuknya. Dari dulu dia paling benci dengan orang yang berbohong padanya. Jika ada pegawai seperti itu, maka akan langsung dipecat. Sudah banyak pegawainya dipecat. Dan sekarang aku korbannya?
TBC................
0 comments