FF My Possesive CEO Part 10 siwon agnes remake wattpad silver_
Genre : romance
Cast :
agnes mo as
her self -Min-Ho
as Adik Agnes
Choi siwon as
him self -Choi
Seung hyun (Top) as ex agnesLauren Choi as anak siwon -Tiffany as agnes Friend
And other cast find
by your self
HAPPY READING.........................
Part 10
Tiga kali olesan
terakhir maskara pada bulu mataku, maka aku sudah selesai seratus persen. Tidak
bisa menahan lengkungan bibirku membentuk sebuah senyuman saat melihat pantulan
diriku di cermin.
Rambut panjang
coklatku di keritingin. Dress pesta berwarna biru tua sebatas dengkul, bagian
lengan hingga menyentuh siku tanganku dan ada pita besar senada dengan warna
dress di belakang pinggangku. Tidak ada bagian tubuhku kecuali kakiku, yang terekspos.
Tidak seperti gaun yang pernah aku pakai di acara pesta pernikahan Tiffany.
Lagipula, aku memang tidak berniat memakai pakaian terbuka ketika pergi bersama
Siwon, kecuali jika dia yang meminta. Dia akan terus mengocehi bajuku
disepanjang jalan, membuatku bosan. Cukup sekali.
Lima belas menit
lagi dia akan tiba dirumahku, menjemputku. Apa yang akan terjadi seandainya eoma
dan appanya atau Minho yang membukakan pintu untuknya? Tiba-tiba saja aku
berhenti bernafas. Mengipas-ngipas wajahku menggunakan kedua tanganku ketika merasakan
keringat akan melunturkan rias make-up diwajahku, walaupun Siwon pernah
mengatakan: aku tetap cantik jika tidak memakai make-up. Tapi, Aku tidak ingin
memalukannya dipesta teman eomanya. Disana akan banyak wanita cantik.
"Sayang,"
ketukkan pintu diikuti suara lembut milik eoma. Pintu kamarku terbuka,
sebelumnya aku menyuruh eoma membuka pintu kamarku yang tidak terkunci. Eoma
duduk diatas ranjangku, disampingku,
"Kau sangat
cantik, anakku," kerutan terlihat disekitar mata eoma ketika sedang
tersenyum. Aku mengcopy wajah eoma. Sedangkan Minho mengcopy wajah appa.
"Secantik Eoma,"
kami tertawa bersamaan karna perkataanku.
"Hm,"
ibu tampak ragu, tetapi ia melanjutkan, "Kenapa TOP tidak pernah datang
lagi kesini? Kau pergi bersamanya 'kan?" Aku diam beberapa saat. Bibir eoma
berkerut menunggu jawabanku. Eoma menyukai TOP karna dia sopan dan penuh
perhatian pada appa dan eoma.
Aku tidak
menceritakannya, aku takut eoma sedih dan kecewa padaku. Eoma sudah menganggap TOP
sebagai anaknya. Ibu sangat bahagia saat aku memberitahunya, TOP berencana akan
melamarku. Bahkan eoma sudah mengasih banyak saran pada acara pertunanganku
dengan TOP.
"Maaf, mom...
Aku dan TOP sudah berakhir," kataku, pelan. Semburat kebingungan tergambar
diwajah eoma, "Apa yang terjadi?" eoma terlihat murung. Aku jadi
merasa bersalah. Aku gelisah memikirkan jawaban. Tidak mungkin aku menceritakan
sebenarnya. eoma dekat juga pada Tiffany.
"Setelah dua tahun
berpacaran, kami baru menyadari beberapa hal: kami memiliki banyak perbedaan.
Kami sudah tidak cocok satu sama lain. Perasaan kami tidak seperti dulu,"
jeda sebentar memastikan ibu tidak kena serangan jantung. Setelah memastikan eoma
masih baik-baik saja, aku melanjutkan.
"kami memilih
berpisah sebelum cincin tersemat dijari kami (menyesal dibelakangan). Dia sudah
bahagia pada pilihanya, eoma," aku tersenyum tipis. eoma membelai punggung
tanganku dan tersenyum lebar,
"Dulu waktu eoma
dan appamu masih berpacaran, kami sering bertengkar karna perbedaan pendapat. Seringkali
kami berakhir namun kembali lagi. Setelah menikahpun, ayah dan ibu sering
bertengkar karna perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat selalu hadir
ditengah-tengah suatu hubungan, entah itu antara teman maupun kekasih. Tapi,
jika memang sudah tidak cocok dan perasaan satu sama lain sudah hilang, tidak
perlu dipertahankan lagi. Itu akan berakibat saling menyakiti. Jadi, kau tidak
apa-apa?" eoma memang tempat curhat yang paling menyenangkan. Tak jarang
aku sering curhat pada Eoma.
"Sebelumnya
tidak baik-baik saja. Tapi, sekarang sudah membaik," aku tersenyum lega
agar meyakinkan Eoma.
"Itu karna
kau sudah punya teman kencan?" tanya eoma menggoda. Pipiku merona.
"Tidak
juga." Dahi eoma berkerut.
"Lalu, kau
akan pergi dengan siapa?" suara eoma penuh kebingungan.
"Seorang pria
yang dekat denganku. Tapi, dia belum mengajakku kencan," aku tidak sabar
berkencan dengannya saat mengingat janjinya: akan mengajakku kencan dalam waktu
dekat. Mulut eoma terbuka ingin berbicara, namun tertutup kembali karna suara kelakson.
Mungkin itu Siwon. Aku menggandeng tangan ibu.
"Ayo, eoma.
Temui temanku." Kami menuruni anak tangga. Kamarku dilantai dua. Di
sampingnya, kamar Minho.
"Minho
kemana, Eoma?"
"Kerja
kelompok dirumah temannya," aku mengangguk. Membuka pintu, mataku langsung
disunguhi pria tampan dan berbadan tegak yang dibalut dengan kemeja coklat,
rompi dan jas dan celana bahannya yang berwarna sedana dengan kemejanya.
Sepatunya hitam mengkilat. Rambutnya diberi jel, sehingga poninya tersisir kesamping.
Sangat terlihat seperti pria milyader.
"Hai. Berikan
aku waktu untuk memperkenalkan kalian. Ini eomaku, siwon. Eoma, ini Siwon,"
aku memperkenalkan mereka. Siwon mengambil tangan eoma, sedikit membungkuk lalu
mencium punggung tangan eomaku.
"Perkenalkan,
saya Siwon, eoma," katanya lembut, tersenyum. Ya, Tuhan. Dia memanggil
eomaku dengan 'eoma'? eoma merasa tersentuh atas perbuatan Siwon.
"Ya. Aku Jenny,
ibu Agnes."
"Terimakasih,
eoma, sudah melahirkan Agnes sebagai yeoja yang cantik. Kecantikkan kalian
sangat mirip."
"Gombal,"
timpalku. Kami bertiga tertawa didepan pintu.
"Appamu dulu
tukang gombal juga," kami menjadi terbahak-bahak. Aku memeluk ibu kemudian
tangan Siwon.
"Kami harus
pergi, mom. Nanti, telat."
"Ya,
pergilah. Hati-hati dijalan."
"Senang
berkenalan dengan Anda. Dan mengizinkan saya membawa putri Anda keluar,"
kata Siwon sopan dan penuh kelembutan disetiap katanya pada eoma. Eoma
tersenyum seolah itu bukan sesuatu yang tidak wajar.
"Tidak masalah
selama kau menjaga putriku dengan baik."
"Saya
pastikan," ujarnya dengan sungguh-sungguh. Sebelum pergi, aku mencium pipi
eoma.
"Bye,
mom," Eoma membalas. Lalu, Siwon mengucapkan selamat tinggal pada ibu.
Siwon membuka
pintu mobilnya untukku, dia adalah pria jantan. Siwon masuk setelah aku selesai
memakai sabuk pengaman. Dia memakai sabuk pengaman, menekan klakson untuk ibu yang
masih berdiri ditempatnya sambil melambaikan tangan, dan mobilnya membawa kami
menjauh dari perkarangan rumahku.
"Sepertinya eomaku
menyukaimu," komentarku, terselip ada nada senang. Dia menengok untuk
tersenyum tipis dan kembali fokus pada jalanan.
"Begitupun
denganku." Disepanjang jalan kami menghabiskan waktu berbicara banyak hal,
aku baru tahu Laurent sudah memiliki babysitter baru.
***
Aku memandangi
jalan dari kaca jendela. Jalan trotoar penuh orang- orang berlalu langlang.
Gemerlap dan keramaian dikota metropolitan seperti New York memang tidak akan
pernah padam.
Mobil berhenti
didepan gedung yang mewah, besar dan banyak karangan bunga ucapan selamat. Aku
membuka sabuk pengamanku saat seorang pria yang tidak kukenal membukakan pintu untukku.
Mungkin, dia bertugas membukakan pintu tamu. Pantatku meninggalkan jok mobil Siwon.
Aku tidak gugup, aku sering pergi kepesta menemani orangtuaku. Aku hanya tidak merasa
percaya diri bisa dating kepesta bukan bersama orangtuaku, tapi bersama Siwon.
Siwon memberikan
kunci mobilnya kepada pria yang tadi membukakan pintu untukku. Mataku liar memandangi
kesekeliling ruangan mewah dan megah, bagus ditambah dekorasi yang unik dan cantik.
Musik klasik sebagai pengatar lagu untuk berdansa. Banyak orang diruangan ini, namun
tidak sesak. Siwon membawaku entah kemana. Setiap wanita yang kuperhatikan,
memakai gaun seksi dan aksesoris yang berkilau. Mereka update tentang gaya
fanshion terbaru.
Bersyukur bahwa
aku tidak memakai dress yang sudah luntur warnanya, walaupun tidak seksi.
Mataku bersibobrok dengan mata coklat terang yang mengikuti arah langkah
kakiku. Aku tersandung karpet jika saja Siwon tidak memeluk pinggangku, mungkin
aku sudah mempermalukan diriku sendiri.
"Perhatikan
jalanmu," katanya, datar.
"Maaf,"
aku memandang kearah tempat si mata coklat lagi. Tapi, dia sudah menghilang.
"Kau mencari
apa?" Siwon memandang kearah tempat yang kulihat.
"Bukan
sesuatu hal yang penting," dia mengangguk mengerti.
"Mr. Siwon,
lama kita tidak bertemu," pria berkepala botak menampilkan senyum ramahnya
pada Siwon. Mereka berdua berjabat tangan, aku merapikan dressku. Tidak terlalu
mendengar jelas apa yang sedang mereka bicarakan.
"Saya
menyampaikan permohonan maaf dari kedua orangtua Saya yang tidak bisa hadir
karna ada halangan. Dimana Nyonya. Garzia?"
"Sibuk
mendatangi para undangan yang lain. Sampaikan salamku pada orangtuamu."
"Akan aku
sampaikan."
"Ngomong-ngomong
siapa wanita cantik ini?" Aku mendongak, mengambil posisi berdiri tegak,
tersenyum ramah, lalu berjabat tangan dengan Tuan. Garzia.
"Perkenalkan,
saya adalah Agnes monica muljoto."
"Darren.
Garzia. Kau tampak cantik dan anggun. Apa kalian sepasang kekasih?" Aku
menahan suara tersedak agar tidak lolos dari mulutku. Gumpalan darah mengalir
deras di sekitar wajahku. Aku melirik kesamping, wajah Siwonn tanpa berekspresi."Aku--"
Siwon memotongku
cepat. "Bukan. Dia adalah sekretarisku." Kesedihan sesaat singgah
didalam hatiku. Aku merasakan tubuhku terhempas jauh menjadi mengecil, sebesar
ukuran semut. Malu pada mulutku yang hampir mengatakan, aku adalah temannya.
Aku memang tidak akan pernah merubah julukkan sekretaris menjadi kekasihnya.
Aku mencubit pahaku. Ini bukan saatnya pertunjukkan airmata. Aku mencoba
menampilkan senyum manisku. Namun, aku tahu, aku gagal.
"Maaf. Aku
pikir kalian sepasang kekasih. Mungkin, ingin mencoba berdansa ditempat yang
sudah aku sediakan. Aku permisi. Nikmati sajian ditempat ini. Selamat
menikmati."
**
Beberapa menit
berlalu, aku merasakan seperti berjam-jam lamanya. Kesenangan, kebahagian
lenyap sudah karna perkataannya. Dia seperti bunglon, cepat sekali pergantian sifatnya
yang banyak itu. Aku ingin kabur, berlari menjauh, aku mempunyai persediaan
banyak alasan diisi kepalaku. Tapi, tubuhku mengkhianati pikiranku. Tubuhku
tidak bisa jauh-jauh darinya.
"Apa kau
lapar? Makanlah jika kau lapar," tangannya menyapu kearah meja panjang
bertaplak indah, penuh dengan berbagai macam jenis makanan lezat. Aku tidak punya
selera. Tersenyum jika dibutuhkan. Memperkenalkan diri pada temannya jika
disuruh Siwon. Sekarang, aku seperti robot yang dikendalikan.
Perutku mual mau
muntah. Aku harus menelan jawabanku sebelum terucap karna Siwon mengangkat panggilan
di I-phonenya. Wajahnya nampak menahan marah. Suaranya pelan, tapi aku bisa
mendengar giginya yang bergemeletuk. Mata gelapnya tanpa ada secercah cahaya
tidak mau memandang kearahku. Ada apa? Perasaanku jadi tidak enak.
"Tunggulah
disini. Jangan melangkah pergi sebelum aku kembali," perintahnya, suaranya
sedingin batu es. Dia langsung berbalik menjauh dengan langkah kakinya yang
lebar-lebar, meninggalkanku sendiri seperti orang idiot yang tersesat
dikeramaian. Belum dua detik berlalu Siwon menghilang dari balik pintu masuk entah
pergi kemana, aku dikejutkan kedatangan si mata coklat didepanku.
Dia tampan. Tapi
bagiku, Siwon lebih tampan. Mataku mempelajari dirinya, wajahnya seperti para
bangsawan, dagunya bertumbuh halus jenggot, garis rahangnya tegak, hidungnya mancung,
ada garis luka dijidatnya. Dia berdecak, antara meledek atau kesal.
"Kau terus
menilai ketampananku. Aku tahu, aku memang lebih tampan dibandingkan adik sialanku
itu." Mulutku menganga. Minho punya saudara kembar, memiliki kepercayaan diri
pada ketampanan mereka. "Maaf?"
"B*jingan
itu!" aku dapat mendengarnya menggeram. Aku mundur beberapa langkah, takut
dia-lah orang idiot yang tersesat.
"aku berani bertaruh.
Adikku pasti belum menceritakan tentang keluarganya padamu, seperti yang dia
lakukan pada semua mantannya. Adikku memang lebih suka bermain rahasia,"
dia berbisik pelan pada kalimat terakhir. Aku merasakan nafasnya menerpa kulit wajahku
dan nafasnya beraroma minuman.
"Adik? Kau
siapa? Aku tidak tahu kau siapa. Dan tidak mengerti apa yang kau bicarakan,"
bibirku berkedut. Dia tertawa. Aku
merinding.
"Namaku Will.
Kakak dari pria bernama Siwon. Kita pernah bertemu sebelumnya di acara pesta
pernikahan Tiffany dan TOP di Australia. Tentu saja, kau tidak mengenalku,
tatapanmu selalu tertuju pada Siwon. Apa hebatnya adikku selain menyimpan
rahasianya rapat-rapat?" dia terkikik geli saat aku menatapnya galak.
Tidak ada yang menatap kearah kami, para undangan sibuk pada teman-temannya.
Dan tidak ada tanda petunjuk Siwon segera kembali.
"Apa kau
benci pada Siwon? Kakak mana yang menjelekkan adiknya sendiri didepan banyak
orang?"
"Didepan
banyak orang tapi hanya kau yang mendengarnya. Tidak masalah bagiku," dia
mengangkat sebelah bahunya.
"Apa
maumu?" kataku, cepat dan menggeram.
"sebaiknya
tinggalkan aku sendiri," aku membuang muka.
"Apa kau
kekasih adikku?" Dia menyeringai melihat keterkejutan diwajahku. Ada apa
dengan malam ini? Kenapa banyak orang yang beranggapan seperti itu? Ketika Siwon
mengajakku kekelompok teman bisnisnya, temannya tak pernah lupa bertanya: apa
kami pacaran? Sakit seperti dihujami pisau saat Siwon menepis semua itu dengan
santai, tanpa beban. Aku suka membaca novel percintaan, dan aku mulai setuju bahwa
para wanita lebih banyak menerima kesakitan dibandingkan pria dalam persoalan cinta.
"Itu bukan
urusanmu," aku berusaha menjaga suaraku agar tidak terdengar serak.
"Itu adalah
urusanku, karna kau berpacaran dengan Siwon, adikku. Kau bodoh. Memilih adikku
yang penuh ketertutupan!" katanya, tegas. Aku mendesah.
"Apa
maumu?" aku mulai emosi.
"Apa kau
pernah menyuruhnya menceritakan masa lalunya padamu? Aku yakin, kau bahkan
tidak tahu kepanjangan nama tengah Siwon. Kau hanya tahu sebatas tentangnya
seperti perempuan-perempuan yang pernah dekat dengannya. Aku datang bukan bermaksud
menjelekkan adikku, tapi aku sudah lelah dikejar-kejar mantan kekasihnya untuk
membuatnya kembali pada Siwon dan pacarku selalu salah paham, mengira aku
berselingkuh. Aku hanya berwas-was mulai sekarang."
Jadi, Siwon punya
banyak mantan? Oke, itu hal yang normal. Dia tampan. Kaya raya. Walaupun dia
duda. Duda? Aku tidak tahu dia duda atau masih memiliki seorang istri? Aku
mulai tertarik pada pembicaraan ini. Aku membasahi bibir keringku berlipstik.
"Apa dia
duda?" tanyaku pelan nyaris tak terdengar. Tapi, dia mendengar sepertinya,
dia tertawa ringan.
"Nah, masalah
ini saja kau tidak tahu. Untung aku bergerak cepat. Dia bukan duda. Menikah
saja belum," aku yakin seandainya ruangan ini hanya ada kami berdua, dia
pasti sudah tertawa keras. Aku diam membisu.
Siwon belum menikah?
Tapi, dia sudah punya anak, Laurent. Aku tidak pernah sesulit dan merasakan
seputusasaan ini tentang pria. Dia benar, Siwon tertutup. Siwonn selalu pintar
mengalihkan pembicaraan ketika aku bertanya tentang dirinya.
Dia hanya menjawab
jika pertanyaanku seputar Laurent dan soal bisnis. Aku ingat, aku pernah
menanyai kehidupannya di Italia, dia malah menghadiahi tatapan tajam dan rahang
mengeras. Lalu, Apa wanita berambut pirang, mata abu-abu di lift itu, salah satu
mantannya juga? Seberapa banyak rahasia yang dia simpan dengan rapat? Apa saja rahasianya?
"Laurent
memang anaknya. Jangan memaksanya untuk berbicara tentang masa lalunya. Semua
mantannya ditinggalkan karna itu. Aku sudah memperingatkanmu," mataku
menatap matanya dengan lama. Disana tidak ada kebohongan atau bercanda, tapi kebenaran.
"Kau tahu
semua tentang rahasianya?" mataku berbinar penuh harap. Dia menggeleng.
"Aku tidak
akan menceritakannya kepadamu. Aku bisa mati terbunuh olehnya,"
sebenarnya, dia sebagai kakak atau adik? Kenapa takut pada adiknya sendiri?
Lagipula, Siwon tidak mungkin melakukannya pada saudaranya sendiri. Aku
mendengus jengkel.
"Kau yang memulai
ini semua," aku memperingatkannya. Dia nyengir dengan wajah tanpa dosa.
"Aku
keceplosan. Aku hanya memperingatkanmu, ketika kau ditinggalkanya jangan
mencariku. Aku bingung, bagaimana bisa semua mantannya tahu aku? Apa aku lebih terkenal
darinya?" dia tertawa, lagi.
"Apa hobimu
gemar tertawa?" cibirku.
"Menjauh
darinya Will!" aku dan Will menoleh bersamaan kearah suara geraman milik Siwon.
Matanya menatapku
dengan padangan pembunuh, seperti buaya kelaparan yang mau menangkap mangsanya.
Aku baru menyadari keintiman aku dan Will, aku berdiri dipojok tembok, Will di depanku
menutup jarak di antara kami, wajah kami hampir tak memiliki jarak- agar
pembicaraan kami tidak didengar orang lain. Aku dan Will menjauh satu sama
lain. Pipi dan kupingku memanas. Bagus. Beberapa pasang mata tamu undangan
memandangi bergantian kearah kami bertiga, memastikan apa akan ada hal yang
menarik. Siwon memeluk pinggangku dengan posesif, mulutnya mendekati daun telinganku.
Will menyeringai melihatnya.
"Aku tidak
menyuruhmu menggoda kakakku!" bisiknya dingin.
Tubuhku menegang.
Bibir dan tenggorokkanku kering. Bisikkannya melukaiku. Aku mendorongnya
menjauh hingga pelukkan tangannya lepas dari pinggangku. Sebelum berlari
keluar, aku menginjak kaki Siwon. Aku bisa mendengar suara rintihan kesakitan dibelakang
punggungku, Will tertawa terbahak. Aku tidak memperdulikan bisik-bisikkan para
tamu.
Kesakitan yang dia
alami sekarang tidak sebanding dengan rasa sakit hatiku. Aku menunggu taksi di
trotoar jalan, namun tidak kunjung datang. Seseorang memutar tubuhku menghadapnya.
"Sialan. Apa
yang kau lakukan?" aku menepis tangannya kasar.
"Aku tidak
mencoba menggoda kakakmu, br*ngsek," makiku kesal. Airmata tidak bisa ku
tahan lagi. Aku menghindar saat dia mencoba menghapus airmataku. Matanya nampak
terluka.
"apa kau
pikir aku wanita penggoda?"
"Aku tidak
mengatakannya seperti itu," serunya, lirih.
"Tapi, kau bermaksud
mengatakannya seperti itu!" jeritku marah, mengalahkan suara kendaraan
yang melawati kami. Emosiku meletup-letup di ubun-ubunku.
"Aku minta
maaf," serunya lembut. Dia merengkuh tubuhku kedalam pelukkannya dengan
erat, dibawah lengan berototnya. Aku tidak memberontak. Diam-diam menikmati aroma
parfumnya.
"aku minta maaf,"
ulangnya. Jantungnya berdegup dengan normal.
"suasana
hatiku tidak tepat melihat kau dan Will terlalu dekat. Aku hanya takut,"
aku menangkap nada ragu dari bibirnya. Takut kenapa? Apa dia menyimpan rahasia
lagi dariku?
"Siwon,"
aku terdiam sesaat. Apa ini waktu yang tepat? Aku harus memberanikan diri,
mungkin setelah ini, dia akan membagi rahasianya padaku. Aku benar-benar sudah
jatuh cinta padanya.
"apa
sebaiknya kita menjauh saja?"
"Apa?"
BONUS
SIWON PROV
Aku selalu terpaku
pada kecantikkannya yang mampu mengalahkan dewi-dewi yunani. Warna mata dan
rambutnya sama sepertiku, cokelat. Kulitnya putih bersih dan halus. Hidungnya
mancung, Tingginya hanya sebatas bahuku tapi itu tidak mengurangi
kecantikkannya. Hal yang paling teristimewa di dirinya, dia pandai bercinta dan
membuatku cepat mengeras. Aku ingin berteriak setiap kali orang menanyai
hubungan aku dan dirinya malam ini, dipesta Tuan. Garzia.
"Dia adalah
perempuanku. Milikku!"
Tetapi, semua
kata-kata itu tertahan diujung lidahku. Aku tidak mau dia menamparku,
mencemoohku, hal yang paling mengerikan, dia menjauhiku seandainya aku
berbicara seperti itu. Dia nampak biasa saja saat aku mengenalkannya pada rekan
bisnisku sebagai seketarisku. Merasakan seperti aku terperosok kedalam jurang
penuh binatang buas.
Aku menanyakan,
apa dia lapar? Dan menyuruhnya makan jika dia lapar. Aku tidak pernah makan
ditempat pesta manapun, aku hanya minum. Mulutnya terbuka ingin menjawab pertanyaanku,
namun tertutup kembali karna aku merogoh kantung celanaku mengambil ponselku
yang bergetar. Emosi muncul kepermukaan diriku, mata penuh kemarahan dan
geraman lolos dari mulutku saat membaca nama yang meneleponku. Aku menjawab
panggilan itu.
"Sudah ku
katakan jangan menggangguku lagi!" gigiku bergemelutuk. Dia menghela
nafas.
"Aku tidak
bisa sebelum kau mempertemukan Laurent denganku. Ba--" Aku memotongnya
cepat. Menatap kearah Agnes yang sedang menatapku ingin tahu.
"Tunggu
disini. Jangan melangkah pergi sebelum aku kembali." Aku langsung berbalik
tanpa menunggu bantahan atau protesannya. Aku memilih tempat yang sunyi tanpa
ada seseorang yang dapat mendengarku.
"Kau
berbicara dengan siapa?" dia bertanya penasaran.
"Dengan siapa
aku berbicara tidak ada hubungannya denganmu! Demi, Tuhan, Stella bisakah kau
pergi menjauh dariku?" bentakku. Aku mengusap kasar wajah frustasiku
dengan tangan yang lainnya.
"Kenapa? Kau
dulu mencintaiku, Siwon," nada suaranya pelan menyerupai bisikkan. Aku
tertawa kecut. Ya, itu dulu.
"Setelah lima
tahun yang lalu kau menghancurkanku. Kau masih berani mengatakan itu? Jika
tidak ada yang penting, sebaiknya jangan meneleponku."
"Tunggu,"
suaranya mencegahku ingin menutup teleponnya.
"aku
merindukanmu dan Laurent. Biarkan aku menemui kalian. Aku datang jauh dari
Korea hanya ingin melihat kalian. Lima menit saja aku dapat melihat kalian, aku
akan kembali ke Korea." Aku menangkap nada kesakitan dari suaranya.
"Aku sudah
menolakmu. Harus berapa kali aku menolakmu agar tidak terus menggangguku?
Anakku tidak mengenal kau!" dua hari yang lalu aku dikejutkan
kedatangannya secara tiba-tiba dikantorku saat jam istirahat.
Bersyukur bahwa
Agnes tidak ada diruangan kerja. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan
terjadi jika Agnes mendengar pembicaraanku dengan Stella.
"Aku tahu.
Maka dari itu, kenalkan aku dengan Laurent. Aku mohon, Won," suaranya
bergetar, dia menangis. Dulu aku benci pada diriku sendiri, membuatnya menangis
karna aku.
Aku diam sesaat.
Berpikir apa yang harus aku katakan padanya. Menyakiti dirinya seperti dia
menyakitiku itu bukanlah cara yang tepat. Aku tumbuh bukan untuk membalas
dendam meskipun banyak bayangan hitam masa lalu yang tak pernah menghilang dari
memoriku. Tak jarang ketika aku terbangun dari tidurku, ada air mata dipelupuk
mataku. Kenangan buruk itu satu pasang dengan diriku seperti sepatu dan tali.
Sepatu, aku. Tali, kenangan buruk. Tali yang selalu menempati setiap lubang
sisi sepatu yang dibuang pemiliknya karna sudah jelek. Itulah aku. Tidak ada
hal yang istimewah didalam diriku. Itulah mengapa aku menjadi pria tertutup
akan masa laluku. Aku belum siap menceritakannya pada orang lain, sekalipun itu
Agnes.
"Akan
kupikirkan kembali," kataku akhirnya. Cepat atau lambat, Laurent akan
bertemu dengannya.
"Aku senang
akan hal ini, Siwon. Aku tidak sabar bertemu kalian berdua," ucapnya
girang.
"Hhmm. Sudah
puas apa yang kau dapatkan?"
"Kau terlalu
sinis. Apa perempuan itu tahan denganmu?" dia terkikik.
"Aku tutup
teleponnya!" aku serius melakukannya. Dia pasti memakiku karna tingkahku
ini. Aku tidak memusingkannya.
Kenapa, pertanyaan
terakhirnya membuatku gusar? Apa Agnes tahan padaku?
Pikiranku melayang
jauh. Dia pernah kesal pada sikap posesifku -aku punya alasan kenapa aku
posesif, dia membantah, protes tapi tetap melakukan yang aku mau. Dua minggu
menghabiskan waktu bersama dengannya, inilah yang aku inginkan setengah tahun
yang lalu. Menahan diriku, bersabar menunggunya sendiri. Tuhan mengabulkan doa
setiap malamku. Didalam diriku mengatakan, aku membutuhkannya. Melindungi apa
yang ku miliki. Aku tidak akan melepaskannya apapun yang terjadi. Agnes adalah
milikku.
TBC..............
0 comments