FF My Possesive CEO Part 11 siwon agnes (remake wattpad silver_ )

by - 8:27 AM



Genre : romance
Cast : 
agnes mo as her self            -Min-Ho as Adik Agnes
Choi siwon as him self        -Choi Seung hyun (Top) as ex agnes
Lauren Choi as anak siwon  -Tiffany as agnes Friend
   
And other cast find by your self

HAPPY READING.........................




part 11

Sepertinya dia menyimpan rahasia lagi dariku. "Siwon," aku terdiam sesaat. Apa ini waktunya tepat? Aku harus memberanikan diri, mungkin setelah ini, dia akan membagi rahasianya padaku. Aku benar-benar sudah jatuh cinta padanya.
"apa sebaiknya kita menjauh saja?"
"Apa?" Dia melepaskan ku dari pelukkannya. Tangannya meremas bahuku, menjauhkan kedua tangannya dari bahu ku saat aku meringis. Matanya redup, tidak ada harapan disana ada setitik cahaya terang, tubuhnya menegang menjadi keras. Dia nampak marah... Atau kecewa? Matanya tidak melotot menatapku, tidak juga berkedip. Seandainya Tuhan memberikan aku kekuatan membaca pikiran orang, seperti pemeran tokoh Edward di film twillight, sudah kulakukan dua minggu yang lalu. Dia memiringkan kepalannya, mencubit hidung mancungnya.

"Coba ulangin?" aku terkejut, dia berbicara pelan tanpa ada geraman dan gigi bergemeletuk, tidak seperti tadi saat dia berbicara di telepon dengan seseorang.
"Kau mendengarnya," aku berusaha tenang.
"Aku tahu, mulut sialanku membuat mu tersinggung. Aku minta maaf. Apa yang harus aku lakukan agar kau memaafkan ku?" Aku tidak percaya, dia terlalu gampang masuk kedalam perangkapku.

"Selama dua minggu kita dekat, ternyata tidak sedekat yang aku pikirkan. Aku tidak mengenal jauh tentangmu. Kau tahu makanan kesukaanku, jam berapa biasanya aku tidur malam, sampai kau tahu merk pembalutku. Aku merasa ini... ini tidak adil," setiap kata yang aku ucapkan terdengar ragu. Aku memainkan kedua tanganku, saat itu aku baru menyadari, aku tidak membawa apapun: tas tangan, dompet, ponselku. Terlalu bersemangat pergi bersama Siwon membuat ku melupakan semua benda penting yang harus selalu kubawa.

"Aku sudah menceritakan padamu, bahwa aku mantan seorang vokalis. Kau tahu aku punya anak. Kau tahu aku keturunan Korea. Itu yang kau maksud tidak adil?" tanyanya tidak percaya. Dia mundur selangkah.
"kemana arah pembicaraan ini kau bawa?" Matanya menyipit. Dia terlihat jelas bahwa dia mencurigaiku. Semua yang dia katakan benar. Tapi, aku ingin lebih tahu tentangnya dibandingkan semua mantannya. Seperti: apa dia pernah menikah sebelumnya? Aku berharap sekarang.
"Ini pasti ada kaitannya dengan Will. Aku benar?" dia memiringkan kepalanya kesisi kanan. Dia maju dua langkah, aku mundur empat langkah. Aku menengadah, berpura-pura bahwa aku tidak terintimidasi oleh tatapan mematikannya --sejujurnya aku bergetar--. Mengapa kami seperti permainan Monopoli. Demi Tuhan, aku tidak pernah melihat dua manusia berbeda gender bertengkar di trotoar.
"Katakan padaku, Agnes Monica Muljoto!" suaranya meninggi. Aku tertegun. Lidahku kering. Dia pernah menyebut nama lengkapku ketika tanpa sengaja menemukanku di taman di Australia. Dia marah.
"Kau tadi mengatakan, apa yang aku inginkan. Aku ingin kau menceritakan masa lalumu padaku. Aku ingin kau berbagi padaku. Seharusnya aku yang marah bukan kau!" aku membentaknya, kesal. Dia melarikan kesepuluh jarinya mengacak-acak rambutnya menjadi berantakan tidak serapi tadi.
"Aku akan mengantarmu pulang," ucapnya datar. Mataku berkedut. Aku berlari kearahnya, menggenggam kedua tangannya. Apa aku seperti wanita murahan?
"Aku selalu mengingatkan diriku, ini terlalu cepat. Tapi, perasaanku mengkhianati otakku. Aku ingin sebuah komitmen dan keterbukaanmu padaku," ungkapku. Ini menakjubkan 'kan? Aku telah merendahkan harga diri wanita. Yang dimana selalu menunggu ketimbang mengungkapkan lebih dulu.

Dia diam sesaat sembari terus melihat kearah mataku. Matanya terbaca, disana ada kesedihan, kekecewaan, ketakutan dan kemarahan menjadi satu.
"Aku tidak bisa jujur padamu." Aku melepaskan genggamanku, tubuhku melemas. Mataku menangkap taksi kearah tempatku berdiri.
"Sebaiknya kau ambil mobil diparkiran dan bawa aku pulang," aku mencoba baik-baik saja tidak ada sesuatu yang terjadi diantara kami.
"Kau tunggu disini?" Aku mengangguk.
"Ya," tidak. Dia berbalik tepat taksi sudah didepan mataku. Tanganku melambai menyetop taksi, berlari cepat meninggalkan trotoar ketika taksi sudah menepi. Bersamaan aku membuka pintu taksi, Siwon meneriakki namaku, aku segara masuk.
"Jalan, pak," kataku cepat sebelum Siwon berhasil mencegah taksi ini. Aku menggigiti kuku bercat biruku ketika aku hampir berteriak frustasi. Aku menangis lagi karna putus cinta. Cintaku bertepuk sebelah tangan!

Kenapa ini sangat menyesakkan dibanding TOP memutuskanku. Ini jauh lebih sakit. Aku memukul-mukul dadaku yang terasa sesak dan panas. Air mata yang tidak kuharapkan, jatuh membasahi wajahku. Aku sudah takut dari awal, aku akan menangis karna masalah cinta dalam waktu dekat. Dan itu terjadi sekarang. Apa aku sudah gila? Pikiran membutuhkan pria alien didrama korea yang dapat menghentikan waktu semaunya, melintas di otakku.
"Apa butuh ke Rumah Sakit, ma'am?" aku menggeleng, tidak sanggup berbicara karna mulutku bergetar hebat -bukan hanya mulutku yang bergetar tapi sekujur tubuhku.
Aku ditolak!
Aku akan kehilangannya. Dia tidak akan mau mendekatiku lagi karna aku menyuruhnya menceritakan masa lalunya. Dan dia tidak mau jujur padaku, itu sudah bertanda buruk. Apa kalian pikir aku menyesal? Tentu saja tidak, meskipun ini sangat melukai hatiku.
Pikiranku menjadi kacau bercampur dengan kepahitan. Dewi batinku mengasihaniku. Itulah akibatnya, perasaan selalu bertindak lebih dulu dibandingkan logika. Ledek Dewi batinku. Tinggalkan saja dia, dia tidak lebih baik untukmu. Banyak pria lain di luar sana yang akan mengantri untuk menjadi kekasihmu. Iya benar, Siwon tidak baik untukku. Dia tidak menaruh kepercayaannya padaku. Tapi, aku sudah mencintainya.

***
Kebesokkan paginya saat tiba dikantor, aku tidak menemukan Siwon dan Amel. Awalnya aku menebak, mungkin mereka telat. Aku mencoba tidak memperdulikan mereka, sampai jam makan siang mereka tetap tidak datang. Lama berpikir akhirnya aku mengesampingkan gengsi, aku mengirim Amel pesan singkat, menanyakan keberadaannya -yang benar saja aku sendirian dilantai paling atas. Dan aku dikejutkan pada kenyataan, Siwon dan Amel pergi ke Thailand mempresentasikan proposal kerjasama dengan perusahaan di Thailand –ini tidak mengejutkanku, karna aku yang membuat jadwal Siwon (aku ceroboh, hampir melupakan jadwal Bossku). Tapi, mengapa Amel ditugaskan mengurusi jadwal Siwon selama dua hari di Thailand? Apa maksudnya?

Biasanya aku yang menemaninya, tentu saja karna tugasku membuat jadwal kerjanya. Laki-laki itu pintar membuatku frustasi. Aku tidak bisa tidur semalaman memikirkannya dan menangis, dia malah seperti ini? Apa dia marah? Seharusnya aku yang marah padanya karna dia tidak mencoba menaruh kepercayaannya kepadaku dan saat aku menawarkan komitmen padanya, dia tidak menghiraukannya.
Apa dia menjauhiku? Well, Will sudah memperingatiku agar aku tidak memaksa Siwon, tapi aku justru mengabaikan peringatan Will. Kini yang bisa kulakukan hanya menggigiti jariku.
Satu pikiran terlintas di dalam kepalaku, membuatku kembali merasakan kepedihan seperti aku dipaksa makan cabe. Apa selama dua minggu ini hanya tentang s*x? Apa dia hanya membutuhkan aku untuk memuaskan kebutuhan nafsunya?
Satu hari terlewat seperti aku berada dirumah hantu. Tidak ada banyak pekerjaan yang harus aku lakukan pada hari ini, aku hanya mengangkat telepon, mencatat pesan, melamun. Ingin pergi keruangan Tiffany, tapi aku akan menganggu pekerjaannya.

Hari kedua Siwon berada di Thailand. Aku bangkit berdiri dari kursi putarku, berjalan kearah meja kerjanya. Menghempaskan pantatku ke kursi putarnya yang sangat empuk dan lumayan besar. Aku tidak munafik, aku sangat merindukannya. Sedang apa dia sekarang? Apa dia sudah makan? Aroma wangi parfumnya meninggalkan jejak di kursinya, membuatku mengantuk dan aku jatuh tertidur.

Aku membuka mataku ketika mendengar suara berisik entah berasal dari mana. Aku diam sesaat, mataku menatap langit-langit ruang kerjaku bersama Siwon. Aku memang sengaja tidur di kursi Siwon, tapi kenapa aku berada di sofa, sekarang?
"Apa kau kurang tidur?" aku merindukan suara ini. Aku seperti bunga layu karna pemiliknya pergi, tidak dapat menyiraminya, lalu hidup kembali karna pemiliknya sudah pulang dan kembali merawatnya dengan baik. Aku mengambil posisi duduk. Memegang kepalaku yang terasa pening.
"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya lagi. Dia khawatir. Aku meneliti dirinya. Tidak ada kantung mata, dia terlihat sehat, tapi wajahnya terlihat lelah.
"Kau tampak baik-baik saja."
"Kau tidak tampak baik-baik saja," katanya cepat, ketus. Dia benar. Semalaman aku terjaga sampai pukul empat pagi, hanya tiga jam aku tertidur. Aku berusaha mengenyahkan dia dari otakku, tetapi aku tidak mampu. Aku tidak makan dengan baik. Semua yang aku rasakan pada TOP lebih berkali-kali lipat rasa ku saat ini untuk Siwon. Aku menghela nafas, sakit kepala menyerangku.
"Kau tahu, aku senang karna kau mengajak Amel bukan aku. Aku pikir, aku bisa bermalas-malasan, tapi tetap saja lelah karna pekerjaan yang selalu menumpuk," semua yang aku katakan tidak benar. Dia melotot.
"Aku tidak memperkerjakan orang-orang yang malas. Apa kau ingin aku pecat?" ada kilatan geli terpancar diwajahnya ketika melihatku tercenung.
"Terserah."
"Ada kiriman buket bunga untukmu diatas mejaku. Jess yang menitipkannya padaku saat aku melewati mejanya," dia menggerakkan kepalanya kearah meja kerjanya. Jessi adalah resepsionis lantai dasar.

Aku sedikit berlari menuju meja kerjanya. Beberapa tangkai bunga mawar merah dibungkus menjadi satu dan berpita merah. Aku mencium bunga itu, sangat harum. Tidak ada kartu identitas pengirim atau sebuah pesan dikartu. Bagaimana Siwon tahu aku menyukai bunga mawar merah? Apa dia sedang mencoba memperbaikki hubungan kami? Seketika pusingku lenyap.
"Te--" Ucapan terimakasihku terpotong cepat olehnya.
"Dia salah satu priamu?" Seperti ada seseorang yang menyiramku seember air es, membeku. Setelah cukup tenang aku mengangguk setuju.
"Ya. Aku mulai dekat dengan seseorang pemain tinju. Kami berkenalan di klub malam kemarin. Dia sangat baik padaku," aku berbohong lagi. Matanya menggelap.
"Tidak seharusnya kau percaya pada pria yang baru saja kau kenal."
"Apa masalahnya? Dia baik padaku. Aku yakin, dia pria yang tepat bagiku," seringai ku halangi dengan berpura-pura mencium bunga. Tubuhnya sedikit tersentak.
"Hanya semalam berkenalan kau sudah menganggap pria b*jingan itu tepat untukmu?" dia menggeram.

"Aku sudah dewasa, berumur duapuluh lima tahun. Mencari pasangan hidup menjadi pekerjaan sampinganku sekarang. Lagipula, dia mengajakku ku makan malam hari ini, itu bisa membuktikkan padamu bahwa pria itu memang baik untukku dan dia akan mempercayaiku," dia tersungging pada kalimat terakhirku. Matanya menyipit menatapku. Aku tahu, dia marah padaku.
"Apa itu sebuah kencan?" Demi dewa-dewi yunani, sedetik aku menangkap ekspresi cemburunya. Aku mengangkat sebelah bahu.

"Tidak keberatan jika kau menganggapnya seperti itu."Begitu cepat terjadi, dia menangkup wajahku, memaksaku agar menatap mata cokelatnya yang menggelap. Aku terkesiap. Menahan nafas ketika ia mendekatkan bibir tipisnya dan mencium ku. Kemarahan tergantikan dengan kehsratan yang meledak didalam diriku. Aku meremas rambutnya –sedikit menjabak membuat suara lembut mngerang pelan dari tenggorokkannya. Menariknya lebih dekat. Tangan hangatnya tidak pernah diam, bermain diantara paha dalamku
.
Aku mencurahkan semua kesakitan, patah hati, kegelisahan dan kemarahan selama dua hari ini pada ciumn kami. Aku merindukan semua yang melekat pada dirinya. Aku ingin mengurungnya, mengikatnya untuk menjadi milikku - kenapa sekarang aku terlihat tidak jauh beda dengan psikopat? Dia melepaskan tautan bibir kami, terengah-engah. Matanya melihatku. Darahku memanas dan menari-nari karna terbakar hasrat yang perlu disalurkan. Mulutku sedikit terbuka mengisi kekosongan paru-paruku.

"Jangan mendekati pria itu. Jangan pergi dariku," nadanya terdengar terluka. Tubuhku ngilu mendengar kalimat dan suara terlukanya. Aku hampir melupakan kekesalanku padanya. Aku mndesah.
"Kenapa?" aku masih terengah-engah.
"Karna. Kau. Adalah. Milik. Ku," dia menggeram, penuh penekanan setiap kata. Aku mendorongnya menjauh. Dia mengacak-acak rambutnya.
"Aku bukan milik siapapun! Aku bukan boneka yang dapat kau kontrolkan!" aku mempertegas setiap kalimat. Lebih baik aku marah daripada hanya bisa menangis terus-menerus. Dia memelototiku. Mulutnya terbuka namun tertutup kembali. Dia Nampak terlihat ragu. Dia menggumam menggunakan bahasa Korea. Tapi akhirnya dia berbicara.
"Aku takut kau akan pergi seperti orang-orang yang pernah aku cintai dulu. Mereka pergi satu persatu-satu. Aku ingin menjagamu, melindungimu agar kau tidak pergi dari ku. Demi, Tuhan, aku tidak pernah menganggap mu seperti bonekaku. Cukup mereka yang pergi jangan kau. Aku bisa mati." Dia menyeret tanganku -tidak kasar-, mengambil tas kerjaku lalu memberikannya padaku.
"Kita mau kemana?" tanyaku setelah kami berada didalam lift yang akan membawa kami kelantai dasar. Tangannya tidak meninggalkan tubuhku.
"Mendapatkan apa yang kau mau dariku," jawabnya menajam tanpa milirikku.
"aku sudah memikirkannya. Tapi, kau harus mendapatkan beberapa kilo lemak lebih dulu. Aku tidak suka wanita kurus."

***
Aku tidak mengerti apa yang dia katakan dilift tadi, ' Mendapatkan apa yang kau mau dariku'. Saat ini aku duduk di jok mobilnya yang mahal dan nyaman sambil menikmati makanan yang dia belikan untukku ku. Sebelumnya dia membelikanku kentang goreng, hamburger, minuman bersoda. Selama diperjalanan hanya musik yang mengalun ditengah-tengah kesunyian kami. setengah jam yang lalu kami masuk jalan tol.

'Cause your s*x takes me to paradise
Yeah your s*x takes me to paradise
And it shows, yeah, yeah, yeah
'Cause you make me feel like, I've
been locked out of heaven
For too long, for too long
Yeah you make me feel like, I've
been locked out of heaven
For too long, for too long

Oh sial! Apa-apaan lagu ini, aku hampir menyemburkan hamburger ke mobil Siwon yang bersih. Siwon berdehem, aku menggeliat tidak nyaman. Perutku menjadi mual.
"Habiskan makananmu," perintahnya.
"Aku sudah merasa cukup."
"Bisakah sekali ini saja kau tidak membantahku," tangannya mencengkram stir kemudi.
"Bisakah sekali ini saja kau tidak mengotrolku?" kata-kataku meludahinya. Dia diam tidak menjawabku.

Aku mendengar ban mobil berderak ketika melewati jalan berbatu kerikil, deru ombak pantai dapat ku dengar dengan jelas. Dan mobil berhenti. Aku mengikutinya keluar dari mobil. Angin pantai langsung menghantam tubuhku.
"Kenapa kau mengajakku kesini?" kami duduk di kap mobilnya. Tangannya memeluk bahuku. Mata kami beradu pandang.
"Kau tidak suka?" aku menggeleng, dia tersenyum. Aku menyukai pantai. Ketika aku merasa stress aku pergi kepantai, berharap beban didalam diriku menghilang dibawa ombak. "aku tepat kalau begitu."
"Bukan. Maksudku, apa yang kita lakukan disini?" aku bingung di buatnya.
"Perselingkuhan, dibuang, ditinggalkan, bagian mana yang mau kau dengar lebih dulu?"

Siwon prov

C. I. N. T. A.

Lima huruf membuatku jatuh ke dalam lubang tikus yang gelap. Delapan tahun aku hidup di dalam keluarga yang penuh cinta, saling menyayangi dan saling melengkapi. Ibu dan ayah sering membawaku ketempat piknik. Setiap tahun ayah dan ibu merayakan ulang tahunku. Merayakan natal meskipun tanpa hadiah mewah dan pohon natal yang besar, tinggi dan penuh pernak-pernik, aku sudah merasa bahagia dan senang tanpa itu.

Mereka berdua mencintaiku begitupun aku sebaliknya. Aku bukan anak sulung yang di lahirkan di keluarga yang kaya raya. Hidup sangat sederhana dan tinggal di gubuk kecil, kusam dan bau, tidur tanpa beralasan ranjang hanya kain tipis. Tapi aku tidak pernah mengeluh, menangis. Mendapatkan cinta dari ayah dan ibu sudah cukup bahkan ketika aku kelaparan tidak ada makanan untuk di makan, aku cukup mengingat cinta ayah dan ibu sudah membuat ku kenyang. Aku tidak pernah menuntut seperti anak kecil lainnya merengek untuk di belikan ini-itu. Karna aku tahu kondisi keuangan keluargaku. Namun, semua berubah dan hilang seperti abu yang di bawa angin dan tidak akan pernah kembali.

Tepat tanggal duapuluh lima desember hari ulang tahun ku yang ke delapan, hancur dan memberikan luka menjadi kepahitan bagi diriku sendiri – sampai sekarang aku tidak pernah merayakan ulangtahun ku--. Seharusnya ayah dan ibu menyanyikan selamat ulang tahun untukku. Seharusnya ibu memasak makanan kesukaan ku seperti tahun- tahun yang lalu. Seharusnya saat itu penuh tawa, canda dan kebahagian. Seharusnya ayah mendongeng sebelum aku tidur. Seharusnya aku tidur didalam pelukkan mereka. Tapi semuanya tidak terjadi. Justru, di hari itu hanya ada bentakkan, air mata dan barang yang hancur karna di lempar ayah. Aku tidak tahu dan aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.

Aku hanya bisa menangis dan berdiri menyaksikan kedua orangtuaku bertengkar. ketika ibu mengemaskan pakaiannya ke dalam tas yang sudah usang, ayah memaki ibu, ibu hanya tertawa dan mengatai ayah bajingan brengsek tidak tahu diri. Aku mengejar ibu keluar, meminta agar tidak pergi meninggalkan aku dan ayah. Ibu tidak mendengarkan seruanku, tangisanku, raunganku, dia malah pergi dengan cuek bersama laki-laki yang tidak aku kenal. Aku mencoba mengejar ibu, tapi ayah menahan tubuh kurusku, kekuatan delapan tahun tidak seimbang dengan usia melebihi empat puluh tahun. Mulai malam itu, semua telah berubah segampang aku membalikkan telapak tangan.

Ayah berkerja diladang milik Tuan. Kang, dari pagi sampai malam. Sehingga aku tidak memiliki waktu banyak bersama ayah. Akan tetapi, karna kerja keras ayah, aku tidak pernah lagi kelaparan, aku tidur beralasan ranjang, tidak ada lagi kain tipis sebagai tempat tidurku. Menurutku, semua itu tidak berarti lebih jika tanpa kehadiran ibu. Setiap malam aku selalu berdoa agar Tuhan memberkati ayah, aku dan ibu yang berada diluar sana. Dan aku memohon ibu kembali bersamaku dan ayah.

Setahun berlalu begitu lambat. Aku harus menerima kepahitan, kehilangan ayah setelah ibu. Ayah meninggal karna penyakit jantung. Tuan. Kang berniat mengangkat aku sebagai anaknya, tapi istrinya menolak kehadiranku. Tidak ada pilihan lain, Tuan. Kang menitipkan aku ke tempat panti asuhan. Aku tidak menjadi anak pendiam, pembangka atau menyendiri karna kepahitan dan luka yang aku alami di masa kanak-kanak. Aku merasa di cintai dan di terima oleh anak-anak dipanti asuhan. Tak lama, pasangan suami-istri keturunan Amerika mengangkatku menjadi anaknya dan membesarkan ku penuh cinta dan kasih sayang, meskipun tidak seindah bersama kedua orangtua ku.

Beberapa tahun kemudian. Aku dipertemukan dengan seorang gadis manis, cantik, baik dan pandai bermain gitar. Dia adalah anggota bandku. Kami bertemu di pencarian bakat. Aku menyukai musik di umur sepuluh tahun, aku pandai bernyanyi seperti ibu. Keluarga baruku mendukung apapun yang aku mau. Awalnya aku menawarkan pertemanan dengannya. Mendekatinya dengan cara, mengajaknya bernyanyi bersama, menghabiskan banyak waktu bersama-sama semasa trainee.
Aku tidak bisa menyimpan rasaku untuknya terlalu lama lagi, aku bahkan menempatkan dirinya didaftar  pertamaku. Aku menyatakan cinta padanya setelah World Tour pertama band kami. Dia menerimaku tanpa banyak berpikir. Aku merasa bahagia seperti aku memenangkan lotre. Perasaan cintaku yang terkubur lama di samudra pasifik kini muncul kepermukaan.
Seperti pria normal lainnya, aku dan dia sering melakukan hbungan intim. Dia mengatakan padaku, dia lupa meminum pil KB nya dan dia hamil dua minggu. Aku tidak marah padanya karna kecerobohannya, malah aku menerimanya. Dia juga terlihat tidak menyesal. Aku bahagia. Aku senang. Aku akan menjadi seorang ayah di umur dua puluh empat tahun. Aku akan mengajarkan anakku bermain alat musik dan bernyanyi.
Tapi... Dengan segera secepat angin tornado, perasaan cintaku hancur berkeping- keping, terbelah-belah seperti kertas ter-robek menjadi banyak potongan.

Dia brcinta dengan Donghae, sahabat yang sudah aku anggap sebagai keluarga. Kenyataan itu membuatku terguncang, aku memukuli Donghae dengan kalap, membuatnya koma selama dua hari dirumah sakit. Aku merahasiakan mengakhiri kontrak satu tahun lagi dengan agencyku. Aku tidak memperdulikan berapa banyak uang yang harus aku membayar sebagai ganti rugi, membayar media social untuk menghapus semua tentang ku di mesin pencarian. Kalian pikir aku akan sudi melihat dua manusia itu di dekatku? Aku pergi membawa anakku yang masih bayi ke New York, tempat tinggal orangtua angkatku. Aku tidak peduli kalian menganggap ku pria pengecut, tapi menurutku ini keputusan yang baik dan juga berat karna harus meninggalkan dunia music
.
***
Tangan mungil Agnes menyentuh bibirku, memberhentikan semua kata yang ingin kuucapkan. Matanya redup, sekelam langit malam.
"Jangan mengatakannya lagi. Aku benar-benar minta maaf dan aku sungguh menyesal. Pasti sangat menyakitkan kenangan buruk yang sudah dipendam jauh didasar hatimu kini harus kau ceritakan kepada seseorang yang tidak memiliki hubungan denganmu." Aku mengenggam pergelangan tangannya, mencium punggung tangannya dengan mataku melihat matanya.
"Kau wanita pertama yang aku ceritakan masa kecilku dengan lengkap."
"Sekalipun pacarmu?" pupilnya melebar seperti pertama kali melihat kejantananku yang mengeras sekeras batu.
"Mantan," aku meralat, "begitulah," aku tidak bohong. Wanita itu hanya mengetahui aku anak angkat dari keluarga Black. Ayah kandungku sudah meninggal. Aku sudah lama tidak membicarakan tentang ibu kandungku. Walaupun begitu, aku sering memimpikan ibu. Sebelah tangannya menutupi mulutnya.
"Aku tersentuh," katanya pelan. "jadi sebenarnya kau sudah menikah atau belum?"
"Aku hanya sekali bertunangan" . aku berencana malam itu datang ke apartemennya untuk melamarnya menjadi istriku dan membesarkan Laurent bersama-sama.
"Siapa namanya?"
"Itu tidak penting," kataku tanpa emosi.
"Aku ingin tahu," dia selalu menjadi Agnes ku yang keras kepala. Aku menyentil jidatnya, dia cemberut.

"Stella," tanpa perlu repot aku menyebut nama lengkap wanita itu Agnes tidak bertanya lagi, tapi dia seperti sedang berpikir keras. Kami diam sesaat, menikmati deruan ombak yang kencang seperti sebuah alunan musik Rock ditelingaku. Agnes memeluk pinggangku dari samping, dia berusaha memghiburku,

"Sebuah pelukkan dapat menenangkan seseorang yang sedang menderita," bibir kecilnya yang selalu membuatku ingin melahapnya tersenyum lebar menampakkan giginya yang rapi dan putih. Tanganku membelai rambut cokelat halusnya dan membenarkan letak jas kerjaku di tubuhnya.

"Aku tidak menderita," suaraku tegas. Dia mencibir. Matanya mempelajari wajahku.
"Kapan terakhir kali kau menangis?" Tubuhku menjadi tegang. Aku mengusap leherku.
"Udara disini sangat dingin. Sebaiknya kita pulang sebelum diantara kita mengalami flu." Tangannya mempererat memeluk pinggangku ketika aku mencoba bangkit berdiri dari atas batu kerikil, pantatku terduduk kembali.
"Tolong ubah sifatmu yang ini," dia merengek sama seperti Laurent ketika tidak bisa mendapatkan yang dia mau. Laurent jarang menuntut, tapi ketika dia menuntut membuat ku sakit kepala. Aku mengangkat Agnes keatas pangkuanku, dia terkejut karna tidak siap pada reaksiku, paha mulusnya mengengkangi perutku, membuat rok pensilnya terangkat sampai setengah paha, sikunya diletakkan di kedua sisi bahuku.

"Jawabannya sangat memalukan. Jadi, berikan aku satu ciumn," bibirnya langsung mencium pipi kiriku. Aku pikir dia akan mencium bibirku, aku mendesah kecewa. Aku menarik nafas dalam-dalam. Mungkin ini pengakuan yang sangat memalukan bagi seorang pria sepertiku. Agnes menyuruhku cepat. Dia pikir ini mudah dikatakan. Sesaat aku menatap mata bersinarnya,

"Saat malam kau meninggalkanku," kataku cepat dan pelan. Dia menggeleng tanpa ekspresi. "Aku tidak mendengarnya." Aku menggeliat tidak nyaman. Menelan ludah dengan susah payah seolah-olah aku menelan batu kerikil.

"Kau tahu kenapa aku tidak pernah terlibat kedalam urusan cinta?" Dia berkedip.
"Tapi saat malam itu Will mengatakan kau punya beberapa mantan kekasih?" Aku mendengus gusar. Aku akan membunuh Will.
"Dan kau percaya? Aku tidak mengerti mengapa Will mengatakan seperti itu kepadamu," aku membelai pahanya yang terbuka, dia menggelang dan melotot seolah-olah mengatakan: ini bukan waktunya.

"Aku takut mengalami kegagalan suatu hubungan untuk kedua kalinya. Ketiga kalinya aku sakit karna cinta. Ibu meninggalkanku, pipiku penuh berurai air mata. Ayah pergi, aku hanya terdiam dengan tatapan kosong melihat pemakaman ayahku. Dan saat Stella selingkuh aku merasa kesal tanpa menangis. Tapi... Ketika malam itu kau pergi meninggalkanku, aku berpikir: inilah yang aku takutkan. Orang yang berarti untuk diriku pergi meninggalkanku untuk keempat kalinya. Orang yang paling aku cintai pergi kedua kalinya. Aku belum siap. Itu adalah mengapa aku tidak mengatakannya sampai sekarang," airmata yang aku perkirakan sudah mengering kini mengalir lagi. Itu semua karna Agnes. Dia datang ke kehidupanku yang gelap menjadi sedikit berwarna.
Malam itu aku mengejar taksi yang ditumpangi Agnes tanpa mobil dengan air mata membasahi pipiku. Aku tidak mengingat keberadaan mobilku, yang aku pikirkan hanya mendapatkan Agnes kembali.
Agnes menangis tersedu-sedu. Aku merengkuh lengan kecilnya dan memeluknya, membawa dirinya mendapatkan ketenangan, menepuk-nepuk pelan punggungnya, mengatakan bahwa semua itu tidak masalah. Dia tambah meraung.

"Aku minta maaf," katanya ditengah-tengah isakkannya. Nada bicaranya, dia menyampaikan penyesalannya kepadaku. "kau juga berarti untukku."
"Selama di Thailand aku memikirkanmu," kataku jujur. Aku terburu-buru menyelesaikan rapat bersama Tuan. Nappa, senang karna Tuan. Nappa puas pada proposal dan presentasiku dan dia setuju untuk bekerjasama dengan perusahaanku. Bersyukur bahwa aku pergi dengan Jet perusahaan. Dia menghapus airmatanya dan mengelap ingusnya menggunakan Jas kerjaku. Aku tercenung. Oh sial! Jas mahalku. Dia mengelap ingusnya lagi ke Jasku.

"Kenapa kau mengajak Amel?" dia berdecak jengkel. Mataku menatap ngeri Jasku.
"Aku sudah mengenal Tuan. Nappa, dia mata keranjang. Aku tidak mau dia menggodamu!" aku tidak bisa membayangkannya digoda pria belang.
"Kenapa?" Aku balik bertanya, "Kau pernah dengar, ketika bintang jatuh kau membuat sesuatu permohonan maka akan terkabul?" aku pernah dengar mitos itu. Agnes menganggukan kepalanya.
"Tiffany mengatakannya padaku, dia pernah melakukannya dan dia berhasil," Agnes mengangkat sebelah bahunya. "mungkin itu suatu kebetulan."
"Jika seandainya bintang jatuh saat ini aku ingin membuat satu permohonan: wanita cantik yang berada diatas pangkuanku menjadi milikku selamanya," airmuka ku berubah menjadi serius.
Dia mengerjap-ngerjap matanya heran seolah-seolah yang baru saja ku katakan sebuah kutukkan. Aku terkekeh geli. Sebelum dia sadar dari keterkejutannya aku berkata,
"Aku mencintaimu," aku mencium kedua punggung tangannya,
"jangan pergi dariku lagi." Agnes mncium bibirku sekilas. Dia berkata didepan bibirku sambil menyeringai. "Aku juga mencintaimu.

TBC.................. Jangan lupa rcl kasih comment dan reaction nya ^^ gomawo

You May Also Like

2 comments

Komentar terakhir

Sponsor

Instagram

https://www.instagram.com/dianaoctvn/?hl=en